Rabu, 13/08/2008 15:06 WIB
Mengapa Fatwa Haram Rokok Urgen?
Nograhany Widhi K - detikNews
Bungkus seram rokok(Nala Edwin)
Jakarta - Fatwa haram merokok dibutuhkan karena kondisi lingkungan semakin permisif. Jika tidak, dampak kerusakannya akan semakin besar.
Demikian yang disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development (IFPPD) Sri Utari Setyawati dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (13/8/2008).
IFPPD bersama sejumlah LSM aktif mengusulkan agar pemerintah meratifikasi konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) yang disusun WHO.
"Merokok itu urusan masing- masing. Kalau merokok haram ya memang kondisinya seperti itu. 9 Dari 10 orang yang sakit kanker paru-paru akibat rokok. Datang saja ke RS Dharmais, lihat statistiknya," ujar Sri Utari.
Pada dasarnya, apa yang diusulkan IFPPD bukan melarang total rokok. Namun menegakkan aturan yang mengendalikan secara ketat dampak buruk rokok.
Seperti yang dikatakan Arie, panggilan Sri Utari Setyawati, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli hanya meminta pemerintah meratifikasi 5 poin dari 11 poin WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Pertama, meminta membatasi akses anak terhadap rokok. Ini seperti tidak boleh menyuruh anak membeli rokok, atau tidak merokok di hadapan anak-anak. Iklan-iklan rokok yang kerap mensponsori acara anak muda juga perlu dibatasi.
"Jangan malah membagikan rokok gratis. Itu mendorong anak dan remaja untuk merokok," tukasnya.
Kedua, menjual rokok secara tertutup. Seperti tidak mendisplay rokok yang dijual, tidak menjual rokok batangan. "Di Thailand, toko yang menjual rokok tidak memajang produknya. Hanya disebutkan toko ini menjual rokok," kata dia.
Ketiga, meminta agar harga dan cukai rokok dibuat mahal, agar yang mengakses terbatas dan benar-benar mampu. "Kenapa Singapura bisa menjual rokok dengan harga tinggi? Sedangkan negara kita murah dan mudah diakses?" ujar Arie.
Menurut dia, semula masyarakat meminta DPR untuk mengenakan cukai rokok 65 persen. Namun, karena lobi-lobi, cukai itu turun menjadi 57 persen. "Namun ini juga belum dilakukan," imbuh dia.
Fakta di lapangan, imbuhnya, menunjukkan orang yang merokok mayoritas adalah orang miskin. Belanja rokok di Indonesia, mencapai Rp 120 triliun per tahun. Belum lagi, biaya kesehatan yang harus dikeluarkan masyarakat karena dampak rokok.
"Hanya dikembalikan sepertiganya saja dalam bentuk cukai. Itu adiktif, tidak bisa berhenti sampai mati. Siapa yang bisa membenahi kalau bukan pemerintah?" kata dia.
Keempat adalah pemasangan label gambar dan tulisan akibat merokok. Gambar itu harus mencapai minimum 30 sampai 50 persen space suatu bungkus rokok.
"Di Singapura sudah, Thailand sudah. Gambarnya dirotasi tiap 3 bulan. Di negara kita, cuma dikasih space kecil dengan tulisan yang kecil. Padahal ini penting untuk public education dan public awareness," kata dia.
Kelima, meminta agar ruang bebas rokok diperluas. "Rokok bukan produk yang berbudaya karena merusak," tukas Arie.
Permintaan untuk meratifikasi 5 poin FCTC inilah yang menjadi salah satu materi gugatan legal standing di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang sekarang memasuki tahap mediasi. Selain itu, DPR diminta memproses RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan.
Kalau gagal, maka Arie menilai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan lebih efektif mengendalikan dampak buruk tembakau itu.(nwk/nrl)
195673.jpg
1956a2.jpg
1956b1.jpg
1956c1.jpg
1956d1.jpg
1956e0.jpg
1956f0.jpg
1956ff.jpg
19570f.jpg
19571f.jpg
19572e.jpg
19573e.jpg
19574e.jpg
19575d.jpg
19576d.jpg
Friday, August 15, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comments:
Post a Comment